Selasa, 27 Desember 2011

DIBALIK KECURANGAN UJIAN NASIONAL 2009

Oleh : Akmal Nur. S.Pd*

Sudah merupakan asumsi umum bahwa pendidikan adalah komponen yang paling mendasar untuk mengantarkan manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Secara personal diharapkan menjadi legitimasi dan media dalam merubah status sosial seseorang yang lebih tinggi ditengah masyarakat dan dalam skala global diharapkan menjadi proses lahirnya sebuah peradaban yang lebih maju. Begitu pentingnya akan sebuah harapan dalam pendidikan sehingga pengelolaannya dilaksanakan secara sistematis dan terintegrasi. Oleh sebab itu jenjang – jenjang pendidikan sebagai usaha sadar yang tersistematis dalam pelaksanaannya harus mendapatkan kontrol dan evaluasi secara menyeluruh, mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menegah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi (PT).

Sebagai sebuah sistem yang diawasi, maka kontrol yang dilakukan bukan saja pada output yang dihasilkan akan tetapi juga pada proses, input dan alat kontrol itu sendiri. Sejauhmana kualitas output yang dihasilkan sangat tergantung dari bagaimana inputnya, prosesnya serta validitas alat kontrolnya. Dalam implementasinya dapat diamati pertama kualitas hasil, salahsatunya dilihat dari evalusi pada Ujian Nasinal (UN), kedua proses, pendidikan dapat dilihat dari bagaimana pemenuhan standar – standar pendidikan seperti standar kompetensi pendidik, standar mutu, serta standar sarana dan prasarana, dan yang ketiga inputnya, dapat dilihat dari penerimaan peserta didik baik itu melalui seleksi penerimaan maupun metode yang lain.

Menjadi masalah dalam konteks dewasa ini adalah sejauhmana para pengambil kebijakan dalam pendidikan melihat hal tersebut secara terintegral dan sejauhmana implementasi kontrol yang dilakukan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan dan tidak mencederai nilai – nilai keadilan dan kebenaran yang menjadi subtansi dari pendidikan itu sendiri. Berbagai evaluasi pendidikan yang dilakukan pengambil kebijakan dewasa telah menuai kritik dan berbagai protes dari berbagai kalangan karena dianggap penuh dengan ketidakadilan merupakan salahsatu indikasi buruknya sistem evaluasi pendidikan dan instrument yang digunakan.

Jangankan mengharapkan sistem evaluasi yang adil, dalam penyelenggaraan pendidikanpun secara umum sangat jauh dari nilai – nilai keadilan dan kemanusiaan. Sebut saja masalah pendanaan yang semakin mahal, distribusi sarana dan prasarana yang tidak merata di berbagai daerah serta pembedaan perhatian dalam segala hal seperti sekolah unggulan dan bukan unggulan. Kesemuanya merupakan cerminan sistem pendidikan yang tidak berjalan sesuai dengan diharapkan.

Kecurangan dalam UN

Pada bulan april lalu UN tingkat sekolah menengah atas telah dilaksanakan dan disusul oleh pelaksanaan yang sama untuk tingkat sekolah dibawahnya. Seperti biasa berbagai kucurangan klasik kembali terungkap mulai dari kebocoran soal, perjokian, pemberian kunci jawaban oleh guru dan lain-lain. Pada koran harian Radar sulteng edisi selasa 2 juni 2009 menyebutkan bahwa terjadi kucurangan di 33 SMA dari 8 provinsi yang ada di Indonesia pada pelaksanaan UN 2009. Kecurangan yang terjadi seperti guru menyebarkan SMS kepada siswa dan siswa mendapatkan kunci jawan palsu.

Peristiwa tersebut bukan hanya terjadi pada pelaksanaan UN kali ini tapi hampir setiap tahun hal ini terjadi. Masalah tersebut terjadi salahsatunya karna masalah citra sebuah sekolah maupun institusi pendidikan yang bersifat kelokalan. Seiring dengan meningkatnya standar kelulusan siswa, maka semua sekolah berlomba-lomba untuk berusaha meluluskan siswanya walaupun dengan cara yang tidak benar atau dengan melakukan kecurangan demi sebuah image keberhasilan. Menyalahkan guru atau sekolah bukanlah juga cara yang tepat karna alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan keberhasilan tidak sepenuhnya salah. Tapi menurut penulis yang perlu disalahkan adalah sistem Ujian Nasional itu sendiri

Berikut pertimbangan penulis kenapa asumsi tersebut muncul, pertama Ujian nasional merupakan sistem evaluasi yang dilaksanakan secara parsial. Hal tersebut dapat dilihat dari hanya beberapa mata pelajaran saja yang dijadikan ukuran. Bukankah kelulusan siswa mencakup dari sistem yang didapatkan sekolah baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik dari semua mata pelajaran. Terlalu pragmatis cara berfikir ketika mengukur sesuatu dengan instrument yang tidak lengkap dimana hanya mengandalkan kemampuan kognitif semata dan mata pelajaran tertentu. Bukankah juga pendidikan kita adalah sebuah sistem dimana ia mempunyai input, proses dan output/hasil yang harus dilihat secara terintegral, bukan hanya berkiblat pada hasil saja.

Kedua Ujian Nasional tidak mempertimbangkan aspek kondisional dan sosiokultural pada masing – masing sekolah. Dapatkah dilakukan pengukuran dengan instrument yang sama pada keadaan atau kondisi yang berbeda. Kondisi yang penulis maksudkan adalah benarkah semua sekolah mempunyai standar yang sama diseluruh Indonesia., baik standar mutu, sarana prsasarana, standar pendidik dan sebagainya. Ketika hal tersebut belum sama, maka sungguh kekeliruan ketika mengadakan evaluasi dan menentukan standar kelulusan siswa pada kondisi sekolah yang berbeda – beda. Bandingkan saja sekolah yang megah dikota yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas belajar dengan sekolah yang ada di pelosok – pelosok Indonesia yang gedungnya saja sudah mulai roboh dan ditinggalkan oleh guru – gurunya yang malu mengajar disana.

Beberapa pertimbangan tersebut diatas palingtidak menjadi hipotesis akan pertanyaan – pertanyaan dan kekecewaan yang dirasakan baik oleh siswa secara individu maupun sekolah secara institusioanal. Dan penulis yakin pertimbangan tersebut bukan saja lahir dari pelaksanaan UN tahun ini tetapi telah menjadi teriakan nurani masyarakat yang terpendam setiap tahun sejak dilaksanakan UN sebagai penentu kelulusan siswa.

Semoga saja kedepan para pengambil kebijakan dalam pendidikan dapat lebih bijak untuk mengevaluasi kembali pelaksanaan UN, mungkin semua akan sepakat ketika UN dilaksanakan benar – benar dijadikan hanya sebagai alat untuk melihat kualitas output dan bukan penentu kelulusan, tetapi sebelumnya dilakukan penyeragaman standar penyelenggaraan pendidikan pada setiap sekolah yang ada ditanah air, dan yang terakhir mengembalikan fungsi guru untuk mengevaluasi siswanya secara holistik dalam menentukan kelulusan. Kita tunggu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar