Rabu, 28 Desember 2011

MENGHILANGKAN PENJAJAH LOKAL

Oleh : Akmal Nur, S.Pd
Lahirnya konsep Otonomi Daerah bukan hanya di harapkan untuk percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat dengan memberikan kewenangan yang sangat luas terhadap Pemerintah daerah dalam pengelolaan Pemerintahaannya. Atau pengelolaan yang dulunya sentralisasi menjadi desentralisasi. Akan tetapi juga banyak di salahgunakan oleh Pemerintahan di tingkat lokal dalam melakukan tindakan – tindakan yang justru menyengsarakan rakyat. Dapat dikatakan bahwa Otonomi Daerah juga berpotensi melahirkan penjajah – penjajah lokal.
Seiring dengan bergulirnya Otonomi Daerah, selain kita dapat menyaksikan beberapa daerah di tanah air mengalami perkembangan yang cukup berarti, juga dapat dlihat berbagai daerah yang justru penduduknya tidak berubah setelah Otonomi Daerah berjalan. Bahkan yang terjadi adalah bentuk penjajahan baru dengan memberlakukan peraturan daerah (PERDA) secara sewenang – wenang.

Berbagai kasus dapat dilihat, mulai dari bentuk penggusuran, penertiban, pengambil alihan lahan yang tidak sesuai ganti ruginya sampai pada pemberlakuan aturan yang bertentangan dengan nilai – nilai pancasila dan UUD 45. Jangankan orang yang hidup, orang matipun tetap mendapatkan dampak penggusuran oleh penguasa lokal yang menyalah artikan konsep Otonomi Daerah di negeri ini.
Salahsatu contoh real yang baru – baru terjadi adalah penggusuran makam Mbah Priok di Jakarta Utara yang menelan korban jiwa. Hal ini merupakan tindakan pemberlakuan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan – peraturan sebelumnya. Kasus ini juga membuktikan bahwa pemberlakuan aturan daerah justru banyak dilakukan secara tidak dialogis.
Pemberian kewenangan yang luas kepada Pemerintah daerah dalam UU Otonomi Daerah justru melahirkan PERDA – PERDA yang sangat jauh dari tujuan untuk mensejahterakan rakyat. Malahan perda tersebut tambah menambah beban masyarakat. Alasan keindahan dan ketertiban kota melahirkan perda untuk menggusur rakyatnya sendiri dengan tidak memberikan jaminan yang tidak sesuai.
PERDA yang diilhami dari konsep otonomi yang seharusnya diterima masyarakat secara dialogis justru di berbagai daerah di berlakukan secara paksa atau represif dengan menggunakan SATPOL PP sebagai ujung tombaknya. Sehingga yang terjadi adalah benturan fisik antara SATPOL PP dengan rakyat. Hal ini tidak jauh berbeda dengan masa Orde baru yang menggunakan ABRI sebagai barisdepan dalam melakukan tindakan – tindakan yang menurutnya melawan Pemerintah.
REKONSTRUKSI OTDA.
Melakukan generalisasi terhadap Pemerintah daerah yang menyalah artikan makna Otonomi Daerah di negeri ini memang tidaklah tepat akan tetapi berbagai efek sosial yang muncul belakangan ini seperti dalam kasus bentrokan antara SATPOL PP versus masyarakat di berbagai daerah serta berbagai kericuhan dalam pelaksanaan PILKADA dan pemekaran daerah ditanah air perlu ditanggapi secara serius. Terutama dalam melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah.
Evaluasi yang penulis maksud adalah penyempurnaan kembali UU No 32 tahun 2003 dengan tetap mempertegas pengawasan pusat terhadap lahirnya berbagai PERDA yang merugikan rakyat apalagi bertentangan dengan nilai – nilai pancasila dan UUD 45. Selain itu perlu adanya penegembalian fungsi awal SATPOL PP sebagai penjaga kantor – kantor Pemerintahan dan tidak mengambil wewenang kepolisian sebagai penegak aturan perundang – undangan. Dengan tidak meragukan kemampuan SATPOL PP, dapat dikatakan bahwa Polisi lebih tepat dan berhak di beri wewenang tersebut ketimbang SATPOL PP. Karena secara logis Polisi telah di bekali dengan berbagai pelatihan baik fisik dan yang terpenting menejemen konflik dalam menyelesaikan masalah tersebut. Walupun dalam segi aplikatif tidak sepenuhnya demikian.
Akan tetapi yang paling penting diperhatikan dalam evaluasi tersebut adalah membentuk kembali (rekonstruksi) paradigma tentang Otonomi Daerah dengan mengacu pada tujuan Otonomi Daerah yaitu mempercepat tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Paling tidak terdapat beberapa catatan terkait dengan evaluasi pelaksanaan Otonomi Daerah. Pertama perlu adanya pengawasan terhadap menjamurnya berbagai peraturan daerah yang merugikan rakyat. Kedua Perlu adanya standarisasi terhadap perda dengan melakukan uji meteril sebelum aturan tersebut di terapkan. Ketiga perlu adanya penyelesaian problem kedaerahan dengan cara dialogis bukan represif. Keempat Perlu penguatan fungsi lembaga – lembaga adat maupun keagamaan, untuk menjadi fasilitator dalam penerapan aturan – aturan daerah sehingga sehingga dapat diterima secara kultural oleh masyarakat. Dan kelima pembenahan sistem rekrutmen Pemerintah daerah dalam PILKADA, khususnya partai politik sebagai wadah penjaringan calon kepala daerah dengan memberikan sosok Pemerintah daerah yang kompeten untuk dipilih. Tidak hanya mengandalkan kepopuleran tetapi lebih utama adalah kompetensi yang dimiliki dengan keberpihakannya pada rakyat.
Dengan berbagai problem-problem tersebut juga tidak dapat disangkal bahwa telah banyak juga daerah-daerah yang memiliki kemajuan berarti selama Otonomi Daerah diterapkan. Oleh sebab itu masalah tersebut merupakan anomali realitas sosial yang juga merupakan efek pelaksanaan Otonomi Daerah yang perlu di sempurnakan.
Sangatlah juga tidak tepat untuk menghapuskan UU Otonomi Daerah dengan kembali pada sistem Pemerintahan yang sentralisasi. Suatu kemunduran jika hal tersebut di laksanakan. Saatnya kita kembali membangun bangsa ini dan terkhusus daerah masing – masing dengan semangat Otonomi Daerah yang merupakan buah reformasi dari bangsa ini. Dan oleh sebab itu penjajahan diatas daerah oleh siapapun harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan. Wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar