Rabu, 28 Desember 2011

PEMILUKADA DAN PENGUATAN DEMOKRASI LOKAL

(Catatan menyambut PEMILUKADA 2010 di SULTENG)

Oleh : AKMAL NUR*

Lahirnya Undang – Undang Otonomi Daerah telah membawa harapan bagi bangsa Indonesia tentang sistem kekuasaan yang dulunya sangat terpusat atau sentralisasi menuju desentralisasi. Pelaksanaan Otonomi Daerah telah menjadi konsumsi disetiap daerah dalam mendorong lahirnya sebuah sistem demokrasi yang belakangan dikenal dengan demokrasi lokal. Berbagai tindakan real dapat kita lihat dari otonomnya pelaksanaan pemerintahan. Seperti pemekaran daerah, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung (PEMILUKADA) dan lain-lain. Hal-hal tersebut paling tidak telah membawa masyarakat pada sebuah pembelajaran politik dalam berdemokrasi,

Akan tetapi pelaksanaan tersebut sekaligus juga menimbulkan efek-efek sosial yang tidak diinginkan. Seperti kekerasan politik yang berujung pada anarkisme sosial. Ini disebabkan karena kesiapan masyarakat Indonesia akan demokrasi masih dalam tahapan pembelajaran.

Secara sederhana demokrasi dalam politik dapat dimaknai sebagai sebuah sistem politik yang menghadirkan sebuah keputusan dari proses akumulasi perebutan kepentingan politik dalam masyarakat. Adapun efek demokrasi itu telah mewarnai pertarungan politik ditingkat lokal dan melahirkan desentralisasi politik. Sehingga pertarungan kepentingan dalam aras lokal dapat terjadi sewaktu-waktu yang dapat menimbulkan prilaku-prilaku kontradiksi sosial. Secara riil dapat dilihat dalam berbagai kasus-kasus konflik dan kekerasan pada tingkat lapisan masyarakat.

Berbagai kasus kemudian muncul dalam pelaksanaan demokrasi lokal ini, kasus pemekaran daerah diberbagai tempat yang melahirkan konflik sosial atau kerusuhan massa. Belum lagi perselisihan antara pendukung calon pemerintah daerah dalam PEMILUKADA terjadi diberbagai penjuru tanah air. Kesemuanya itu telah mewarnai pelaksanaan demokrasi lokal yang telah berlangsung di Negara ini.

Efek tersebut menimbulkan dua persepsi yang kontradiktif. Pertama kasus tersebut dilihat dari persepsi epistimologi (metodelogi), penilaian ini masuk sebagai kategori kewajaran. Mengingat masyarakat masih dalam tahapan pembelajaran berdemokrasi. Hal tersebut dilihat sebagai sebuah realitas masyarakat dalam tahapan meraba-raba demokrasi, yang selama ini tersimpan dalam kungkungan otoriterian orde baru. Dan persepsi yang kedua dilihat dari konteks aksiologi (morality) menganggap hal ini sebagai suatu hal yang tidak wajar karena yang selalu menjadi korban dari penegakan demokrasi adalah rakyat dan yang diuntungkan adalah elit-elit politik lokal.

Oleh sebab itu dalam mencermati hal tersebut paling tidak harus melihat apa sebenarnya harapan dan kenyataan dari pelaksanaan demokrasi lokal. Sehingga dalam memandang persolan tersebut kita tidak terjebak pada pemihakan terhadap kedua persepsi yang ada.


Harapan dan kenyataan

Pelaksanaan demokrasi lokal diharapkan pertama dapat menjadi harapan rakyat dalam memajukan daerahnya masing-masing dengan segala potensi kemandirian. Sehingga tidak ada lagi kecemburuan sosial yang selama ini terjadi di zaman pra reformasi. Dimana pembangunan tidak merata diseluruh penjuru tanah air. Terdapat daerah yang kaya sumberdaya alam akan tetapi memiliki penduduk yang tidak berkembang, begitupula sebaliknya. Dengan adanya peluang pelaksanaan demokrasi lokal akan lahir kebijakan otonomi yang dapat mengatasi itu semua.

Kedua, dengan penguatan demokrasi lokal diharapkan dapat menjadi pertahanan kedua terhadap hegemoni pihak asing dalam melakukan infasi ekonomi dan budaya. Kuatnya pengaruh asing dalam konteks sekarang ini mengharuskan kekuatan struktur kenegaraan dalam posisi yang lebih kuat mulai dari pusat sampai daerah-daerah. Hadirnya pemerintah daerah yang otonom dalam mengurusi daerahnya, mempunyai peluang yang sangat besar dalam menentukan kebijakan yang dapat membentengi infasi bangsa asing. Melalui kebijakan perekonomian misalnya dapat diatur dalam peraturan daerah (PERDA) yang dapat menguntungkan rakyat secara umum.

Ketiga Dengan penguatan demokrasi lokal diharapkan peluang akan kesadaran politik masyarakat semakin besar. Dimana akses-akses untuk menyampaikan aspirasi politik semakin jelas. Hal ini berbeda pada zaman sebelum otonomi dimana daerah tidak terlalu banyak merealisasikan keinginan masyarakat karena harus mendapat persetujuan dari pemerintah pusat.

Keempat pelaksanaan demokrasi lokal diharapkan mampu melahirkan pemimimpin daerah yang memiliki legitimasi politik masyarakat yang kuat dengan adanya pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung (PEMILUKADA). Dengan adanya legetimasi tersebut, pemerintah dapat lebih percaya diri dalam memajukan daerahnya.

Dibalik harapan-harapan tersebut, Implementasi demokrasi lokal juga tidaklah sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan, justru diberbagai daerah dampak tatanan sosial masyarakat semakin memburuk yang selama ini hidup secara damai dan tentram. Salah satu contoh adalah pelaksanaan PEMILUKADA. Beberapa daerah di Indonesia dalam menyelenggarakan PEMILUKADA diwarnai konflik dari pihak pendukung actor politik, baik sebelum maupun sesudah pelaksanaannya. Menyalahkan masyarakat yang melakukan aksi konflik tersebut bukanlah hal yang sepenuhnya benar, karena sekali lagi aksi yang dilakukan masyarakat terjadi karena ketidaktahuannya terhadap apa yang mereka lakukan,

Salah satu fakta lagi yang dapat kita saksikan dari besarnya dampak pelaksanaan demokrasi local di beberapa daerah adalah tidak adanya perubahan mendasar terhadap kehidupan masyarakat sehingga pelaksanaan PEMILUKADA hanyalah seremonial belaka. Beberapa daerah yang telah melaksanakan salahsatu pesta demokrasi (PEMILUKADA), serta menerapkan konsep otonomi daerah secara prosedural justru merasakan kondisi yang sama dengan sebelum pelaksanaan tersebut, bahkan sebahagian daerah memiliki kondisi yang lebih buruk, hal ini sungguh bertentangan dengan tujuan demokrasi itu sendiri yang ingin memberikan keamanan, kesejahteraan dan keadilan kepada masyarakat.

Kenyataan tersebut hanyalah pelajaran terhadap masyarakat bahwa masih ada yang kurang dan harus di perbaiki dari pelaksanaan demokrasi lokal terkhusus lagi pelaksanaan PEMILUKADA. Semoga dengan berbagai kekurangan dari pelaksanaan PEMILUKADA sebelumnya dapat di perbaiki pada pelaksanaan selanjutnya.

Terhitung beberapa bulan lagi beberapa daerah kabupaten/kota di Propinsi Sulawesi Tengah akan melaksanakan PEMILUKADA. Pesta demokrasi tersebut merupakan wujud implementasi demokrasi lokal. Kita sangat berharap bahwa pelaksanaan tersebut jauh dari berbagai masalah – masalah yang dapat menimbulkan konflik di tengah – tengah masyarakat dan membawa perubahan yang lebih maju lagi pada kehidupan sosial masyarakat. Masyarakat tidak pernah peduli siapa yang akan nantinya menjadi pemimpin daerah, tetapi siapapun yang terpilih dapat membawa perubahan bagi kesejahteraan mayarakat.

Oleh sebab itu pelajaran terhadap masalah PEMILUKADA di daerah lain dapat di jadikan acuan dalam mengidentifikasi peluang munculnya masalah sehingga problem tersebut dapat diselesaikan sebelum PEMILUKADA di laksanakan. Oleh sebab itu dibutuhkan kesadaran semua pihak untuk melaksanakan PEMILUKADA dengan jujur dan adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar