Oleh
: Akmal nur S,Pd*
Pada tahun ajaran baru 2013/2014
pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayan akan kembali menerapkan
kurikulum baru. Kurikulum 2013 yang rencananya akan mengganti kurikulum KTSP yang
seakan-akan mendesak di luncurkan pada tahun ajaran baru ini. Seperti diketahui
bahwa belumlah maksimal KTSP di laksanakan dan di elaborasi oleh guru dan hanya
memakan waktu kurang dari sepuluh tahun. Kini kurikum yang baru telah disiapkan
lagi sebagai penggantinya.
Secara teoritis perubahan kurikulum
merupakan sebuah keniscayaan guna mengikuti perkembangan zaman. Memang tidak
ada batas waktu kurikulum itu harus diimplementasikan, tetapi perubahan
tersebut harus dilandasi dengan fakta-fakta riil seperti apa yang dibutuhkan
saat ini dan sejauhmana keberhasilan kurikulum yang telah lalu.
Belum pernah diumumkan secara jelas
hasil evaluasi kurikulum KTSP. Sejauhmana keberhasilannya menciptakan generasi
sesuai yang diinginkan oleh Undang-Undang. Bagaimana kendala pola
pelaksanaannya dilapangan serta seberapa penting setiap mata pelajaran yang ada
untuk kondisi saat ini sehingga ada penambahan atau pengurangan.
Salah satu alasan pemerintah
melakukan perubahan kurikulum yang berdasarkan pada Penilaian Programme for International Student Assessment (PISA)
dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) yang menempatkan Indonesia masih jauh tertinggal dari
Negara-negara yang diujikan selain itu untuk menigkatkan daya nalar siswa dalam mengembangkan kreatifitasnya.
Oleh karena seperti diberitakan kurikulum ini dirancang dengan konsep tematik
integratif
Alasan - alasan tersebut sangat ideal
tetapi kondisi riilnya yang mudah dilaksanakan hanyalah pengurangan mata
pelajaran dan penambahan durasi pembelajaran. Konsep tematik integrative memang
menjadi ideal dalam sistem pendidikan saat ini tetapi harus didukung oleh
kemanpuan guru dalam metodelogi pembelajarannya.
Konsep ini bukan hal yang baru,
seharusnya penerapannya sudah dimulai sejak redefinisi proses belajar dari pembelajaran berpusat pada guru (teacher-centered) seperti dalam Pasal 1
Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas),
ke berpusat pada murid (student-centered)
menurut UU No 20 Tahun 2003.
Pendidikan dengan mutu
yang rendah memang menjadi persoalan tersendiri bangsa ini, memperbaikinya
tidak cukup secara parsial, apalagi hanya dengan uji coba atau gonta ganti
kurikulum. Hal yang pertama adalah memperjelas kembali arah kebijakan
pendidikan. Secara implementasi kurikulum hanyalah komponen operasional saja
yang harus didukung oleh visi pendidikan yang jelas dan kemanpuan guru
menerapkan kurikulum tersebut.
Urgensi
guru
Dengan lahirnya UU No 14
tahun 2005 tentang guru dan dosen sebagai landasan hukum pengakuan pemerintah
terhadap eksistensi guru sebagai profesi dengan segala kompetensi yang dimiliki
seharusnya dapat dimaksimalkan guna meningkatkan mutu pendidikan. Secara
kuantitatif jumlah guru yang telah mengikuti sertifikasi sebanyak 1.101.552 orang (Kompas.com).Tetapi benarkah sekian banyak guru itu secara
kualitatif memberi konstribusi yang signifikan terhadap perubahan pendidikan
Indonesia. Paling tidak terhadap perubahan pola mengajarnya dari teacher-centered ke student-centered, Menciptakan pembelajaran yang menyenangkan atau
menantang siswa untuk kreatif yang dalam istilah-istilah dikenal dengan
pendidikan dialogis, partisipatif, active
learning joyfull learning dan
sebagainya.
Momentum lahirnya UU ini
seharusnya di manfaatkan untuk meningkatkan kenerja guru, peningkatan kinerja
ini bukan hanya dengan meningkatkan kesejahteraan guru tetapi bagaiamana
menfasilitasi guru dalam meningkatkan kompetensinya. Bukan hanya masyarakat
yang sering mengritik kenerja guru selama ini yang masih jauh dari harapan,
tetapi sampai pada Bapak presiden sering memberikan kritikan disetiap sambutan
acara-acara guru.
Jika fungsi pengawasan di
sekolah terhadap guru berjalan dengan baik maka tanpa ujian kompetensi guru, pemerintah
dalam hal ini kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan telah memiliki data yang
cukup untuk dijadikan alasan begitu
pentingnya memperhatikan kenerja guru sekarang ini.
Bukan hanya
faktor kesejahteraan yang menjadi kendala selama ini guru tidak memiliki
kenerja yang baik. Tetapi faktor penunjang lainnya seperti akses media untuk
meningkatkan kompetensinya sebagai seorang guru. Akses ini terkait regulasi
yang baik, pembinaan yang terarah dan tersistematis serta ketersediaan sarana
pelatihan, informasi dan leterasi di lingkungan guru berada.
Tanpa
mengesampingkan urgensi perubahan kurikulum skala prioritas terhadap kendala
peningkatan kenerja guru harus diselesaikan yang bukan hanya seolah-olah
mendesak. Anggaran penggunaan untuk kurikulum baru yang berjumlah 2,4 Triliun
di perkirakan oleh banyak pengamat sebagai usaha yang samar-samar atau bisa
jadi sia-sia. Jika saja anggaran sebesar itu digunakan untuk membenahi kondisi
guru saat ini maka sesuatu yang riil mungkin
dapat dirasakan.
Bahwa kurikulum apa saja
yang diterapkan jika guru memiliki kemanpuan untuk menerapkannya dengan
paradigma yang baru, metode yang sesuai serta berbagai kompetensi yang
dimilikinya maka optimesme itu akan muncul bahwa pendidikan di Indonesia akan
lebih baik.
Begitupula sebaliknya
kurikulum apa saja yang diterapkan jika guru masih memiliki paradigma lama,
metode konvensional serta kompetensi yang minim maka tidak akan menghasilkan
apa-apa. Dengan tidak menyangkal bahwa masih ada diantara sekian guru yang
memiliki kompetensi yang diharapkan dalam pembelajaran, kenerja guru seharusnya
menjadi sangat penting untuk menjadi perhatian pemerintah. Proses seleksi
pemberian sertifikat pendidik haruslah disertai dengan fullow up kedepannya.
Pelatihan bagi guru untuk
persiapan kurikulum 2013 hanya akan menciptakan kesibukan-kesibukan semata. Hal
yang lebih penting adalah mempersiapkan guru untuk menghadapi setiap
“perubahan” yang ada di dunia pendidikan. Bukan karena kurikulumnya, KTSP tidak
bisa dikembangkan ,oleh tetapi lebih
pada kompetensi guru itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar