Minggu, 10 Maret 2013

KURIKULUM 2013 DAN URGENSI GURU


Oleh : Akmal nur S,Pd*
            Pada tahun ajaran baru 2013/2014 pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayan akan kembali menerapkan kurikulum baru. Kurikulum 2013 yang rencananya akan mengganti kurikulum KTSP yang seakan-akan mendesak di luncurkan pada tahun ajaran baru ini. Seperti diketahui bahwa belumlah maksimal KTSP di laksanakan dan di elaborasi oleh guru dan hanya memakan waktu kurang dari sepuluh tahun. Kini kurikum yang baru telah disiapkan lagi sebagai penggantinya.
            Secara teoritis perubahan kurikulum merupakan sebuah keniscayaan guna mengikuti perkembangan zaman. Memang tidak ada batas waktu kurikulum itu harus diimplementasikan, tetapi perubahan tersebut harus dilandasi dengan fakta-fakta riil seperti apa yang dibutuhkan saat ini dan sejauhmana keberhasilan kurikulum yang telah lalu.
            Belum pernah diumumkan secara jelas hasil evaluasi kurikulum KTSP. Sejauhmana keberhasilannya menciptakan generasi sesuai yang diinginkan oleh Undang-Undang. Bagaimana kendala pola pelaksanaannya dilapangan serta seberapa penting setiap mata pelajaran yang ada untuk kondisi saat ini sehingga ada penambahan atau pengurangan.
            Salah satu alasan pemerintah melakukan perubahan kurikulum yang berdasarkan pada Penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) yang menempatkan Indonesia masih jauh tertinggal dari Negara-negara yang diujikan selain itu untuk menigkatkan daya nalar siswa dalam mengembangkan kreatifitasnya. Oleh karena seperti diberitakan  kurikulum ini dirancang dengan konsep tematik integratif
Alasan - alasan tersebut sangat ideal tetapi kondisi riilnya yang mudah dilaksanakan hanyalah pengurangan mata pelajaran dan penambahan durasi pembelajaran. Konsep tematik integrative memang menjadi ideal dalam sistem pendidikan saat ini tetapi harus didukung oleh kemanpuan guru dalam metodelogi pembelajarannya.
Konsep ini bukan hal yang baru, seharusnya penerapannya sudah dimulai sejak redefinisi proses belajar dari pembelajaran berpusat pada guru (teacher-centered) seperti dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), ke berpusat pada murid (student-centered) menurut UU No 20 Tahun 2003.
Pendidikan dengan mutu yang rendah memang menjadi persoalan tersendiri bangsa ini, memperbaikinya tidak cukup secara parsial, apalagi hanya dengan uji coba atau gonta ganti kurikulum. Hal yang pertama adalah memperjelas kembali arah kebijakan pendidikan. Secara implementasi kurikulum hanyalah komponen operasional saja yang harus didukung oleh visi pendidikan yang jelas dan kemanpuan guru menerapkan kurikulum tersebut.

Urgensi guru
Dengan lahirnya UU No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen sebagai landasan hukum pengakuan pemerintah terhadap eksistensi guru sebagai profesi dengan segala kompetensi yang dimiliki seharusnya dapat dimaksimalkan guna meningkatkan mutu pendidikan. Secara kuantitatif jumlah guru yang telah mengikuti sertifikasi sebanyak 1.101.552 orang (Kompas.com).Tetapi benarkah sekian banyak guru itu secara kualitatif memberi konstribusi yang signifikan terhadap perubahan pendidikan Indonesia. Paling tidak terhadap perubahan pola mengajarnya dari teacher-centered ke student-centered, Menciptakan pembelajaran yang menyenangkan atau menantang siswa untuk kreatif yang dalam istilah-istilah dikenal dengan pendidikan dialogis, partisipatif, active learning joyfull learning dan sebagainya.
Momentum lahirnya UU ini seharusnya di manfaatkan untuk meningkatkan kenerja guru, peningkatan kinerja ini bukan hanya dengan meningkatkan kesejahteraan guru tetapi bagaiamana menfasilitasi guru dalam meningkatkan kompetensinya. Bukan hanya masyarakat yang sering mengritik kenerja guru selama ini yang masih jauh dari harapan, tetapi sampai pada Bapak presiden sering memberikan kritikan disetiap sambutan acara-acara guru.
Jika fungsi pengawasan di sekolah terhadap guru berjalan dengan baik maka tanpa ujian kompetensi guru, pemerintah dalam hal ini kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan telah memiliki data yang cukup untuk  dijadikan alasan begitu pentingnya memperhatikan kenerja guru sekarang ini.
            Bukan hanya faktor kesejahteraan yang menjadi kendala selama ini guru tidak memiliki kenerja yang baik. Tetapi faktor penunjang lainnya seperti akses media untuk meningkatkan kompetensinya sebagai seorang guru. Akses ini terkait regulasi yang baik, pembinaan yang terarah dan tersistematis serta ketersediaan sarana pelatihan, informasi dan leterasi di lingkungan guru berada.
            Tanpa mengesampingkan urgensi perubahan kurikulum skala prioritas terhadap kendala peningkatan kenerja guru harus diselesaikan yang bukan hanya seolah-olah mendesak. Anggaran penggunaan untuk kurikulum baru yang berjumlah 2,4 Triliun di perkirakan oleh banyak pengamat sebagai usaha yang samar-samar atau bisa jadi sia-sia. Jika saja anggaran sebesar itu digunakan untuk membenahi kondisi guru saat ini maka sesuatu yang riil  mungkin dapat dirasakan.
Bahwa kurikulum apa saja yang diterapkan jika guru memiliki kemanpuan untuk menerapkannya dengan paradigma yang baru, metode yang sesuai serta berbagai kompetensi yang dimilikinya maka optimesme itu akan muncul bahwa pendidikan di Indonesia akan lebih baik.
Begitupula sebaliknya kurikulum apa saja yang diterapkan jika guru masih memiliki paradigma lama, metode konvensional serta kompetensi yang minim maka tidak akan menghasilkan apa-apa. Dengan tidak menyangkal bahwa masih ada diantara sekian guru yang memiliki kompetensi yang diharapkan dalam pembelajaran, kenerja guru seharusnya menjadi sangat penting untuk menjadi perhatian pemerintah. Proses seleksi pemberian sertifikat pendidik haruslah disertai dengan fullow up kedepannya.
Pelatihan bagi guru untuk persiapan kurikulum 2013 hanya akan menciptakan kesibukan-kesibukan semata. Hal yang lebih penting adalah mempersiapkan guru untuk menghadapi setiap “perubahan” yang ada di dunia pendidikan. Bukan karena kurikulumnya, KTSP tidak bisa dikembangkan ,oleh  tetapi lebih pada kompetensi guru itu sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar