Selasa, 27 Desember 2011

SEKOLAH SEBAGAI BASIS PERLINDUNGAN ANAK

OLEH : AKMAL NUR

Pengakuan Baekuni alias Babe yang telah melakukan kejahatan terbesar terhadap anak – anak turut menyumbangkan prestasi buruk Indonesia dalam hal perlindungan anak. Awal 2010 ini telah ditandai berbagai peristiwa kekerasan terhadap anak, Di Depok Jawa Barat seorang guru ngaji menyiksa santrinya dengan air keras. Di Tangerang seorang ibu tega membekap bayinya hingga tewas. Serta berbagai peristiwa kekerasan anak lainnya yang terjadi tampa pemberitaan media. Kekerasan ini terjadi setiap waktu dan bukan hanya mengalami penurunan tapi justru mengalami peningkatan

Jika melihat kekerasan anak di Indonesia angka kekerasan pada anak pun cenderung mengalami peningkatan. Meminjam data World Vision Indonesia menemukan angka 1891 kasus kekerasan selama tahun 2009, padahal pada tahun 2008 hanya 1600 kasus. Kompilasi dari sembilan surat kabar nasional menemukan data 670 kekerasan pada anak selama tahun 2009, sementara tahun 2008 sebanyak 555 kasus. Pengaduan ke KPAI selama tahun 2008 ada 580 kasus dan tahun 2009 ada 595 kasus.

Perlindungan anak memang telah termuat dalam berbagai UU, mulai dari UU No 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak, KUHP, UU Perlindungan anak dan UU Kekerasan dalam rumah tangga. Akan tetapi hukum tersebut masih menjadi tulisan yang belum memberi efek jera jika di perbandingkan dengan kasus yang ada. Dalam UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 1 menyebutkan bahwa “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”.

Beberapa hak anak serta tindak pidana terhadap anak juga telah diatur dalam undang – undang ini. Tinggal bagaimana pihak yang terkait mengoptimalkan pelaksanaannnya dan bagaimana UU tersebut menanggapi berbagai kasus yang semakin hari semakin menjamur dimasyarakat terkait dalam pelaksanaannnya.

Walupun dalam UU tersebut tidak menyebutkan secara tersurat ruang lingkup perlindungan anak akan tetapi dapat dimaknai bahwa kekerasan anak bukan hanya terkait dengan kekerasan fisik seperti penganiayaan, pembunuhan, pemerkosaan akan tetapi juga mencakup kekerasan non fisisk seperti tekanan ekonomi,psikis dan relegi.

Membangun sistem perlindungan anak

Meningkatnya berbagai kasus kekerasan anak bukan hanya harus di selesaikan secara parsial tetapi juga harus mempertimbangkan secara holistic berbagai aspek yang berkaitan dan turut menjadi latarbelakang kekerasan tersebut, misalnya aspek ekonomi keluarga, aspek akses pendidikan, aspek layanan sosial. Pertanyaannnya adalah sejauhmana peran pengambil kebijakan dalam hal ini sebagai penyelenggara Negara bukan hanya sebagai pelindung tetapi juga sebagai pelayan, memberi akses kepada anak dalam mendapatkan hak – haknya sebagai manusia yang bermartabat.

Hal ini menurut penulis penting mengingat kekerasan anak banyak terjadi pada anak yang secara ekonomi lemah dan tidak dapat mengakses pelayanan sosial seperti kesehatan dan pendidikan. Salahsatu contoh adalah anak jalanan, berbagai kasus kekerasan anak terjadi dijalanan. Pemandangan tersendiri di berbagai kota ditanah air, anak – anak jalanan menjadi lahan eksploitasi baik oleh orangtuanya, kerabat, maupun para mafia anak jalanan.

Melindungi mereka bukan hanya dengan melakukan razia dan direhabilitasi di dinas sosial akan tetapi perlu system terpadu khususnya dalam peningkatan kesejahteraan anak baik itu upaya mebuka lapangan kerja agar orangtua mereka dapat bekerja dengan layak, maupun dengan membuka akses pendidkan dengan biaya dapat dijangkau.

Sudah saatnya Kekerasan terhadap anak dapat dicegah selain dari mengharap orangtua, masyarakat maupun instansi sosial juga harus menjadikan sekolah sebagai basis instrument dalam melakukan perlindungan terhadap anak. Dengan asumsi pertama peran pendidik di sekolah dapat diharapkan memberikan kompetensi pengetahuan terhadap kehidupan sosial yang rentang dengan kejahatan. Kedua Sekolah juga dapat menjadi tempat bagi anak untuk mencarikan solusi permasalahan yang dihadapi baik itu di lingkungan keluarganya maupun lingkungan sekitarnya. Ketiga, sekolah dapat meminimalisir aktifitas anak yang menyimpan karena di sibukkan dengan belajar, dan keempat sekolah menjadi ruang bagi anak untuk bermain sambil belajar dalam memenuhi haknya untuk mendapatkan fasilitas kenyamanan dan keamanan. Serta banyak fungsi lain yang didapatkan anak khususnya dalam mendapatkan perlindungan dari kekerasan baik fisik maupun non fisik.

Beberapa asumsi tersebut akan berjalan dengan baik jika sekolah berfunsi sebagaimana mestinya. Sangat kontradiktif memang kalau di perhadapkan dengan realitas bahwa selain sekolah masih susah dijangkau oleh kalangan tertentu juga karena sekolah tidak terlepas dari tindakan kekerasan. Sudah menjadi informasi umum bahwa sekitar kekerasan anak justru masih banyak terjadi diruang lingkup sekolah atau pendidikan.

Akan tetapi pemikiran ideal bahwa sekolah adalah tempat utama atau basis perlindungan anak dari kekerasan bukanlah sebuah mimpi, sebab potensi kearah sana telah terlihat. Sekolah telah siap menghadapi perubahan itu kearah yang lebih baik, pendidik telah meninggalkan paradigma lama yang menjadikan kekerasan sebagai instrument pendidikan, begitupula dengan di praktekkannya metodelogi pendidikan yang lebih kreatif dengan menggunakan konsep – konsep baru dan terbarukan seperti meaningfull learning, enjoyable learning, joyfull learning, kontextual learning, quantum learning dan sebagainya. Sehingga sekarang tinggal bagaimana pengambil kebijakan menciptakan ruang bagi mereka anak-anak untuk mendapatkan pendidikan secara merata.

Semoga dengan dikembalikannya fungsi sekolah sebagaimana mestinya seiring dengan perkembangan zaman dapat dijadikan sebagai tempat sekaligus media perlindungan anak agar terhindar dari kekerasan baik fisik maupun non fisik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar