Rabu, 28 Desember 2011

WUKUF DI LERENG MERAPI

Oleh : Akmal Nur, S.pd


Idul Adha yang jatuh pada 16 dan 17 November 2010 sepertinya dirayakan dengan penuh keprihatinan. Idul Adha berlangsung ketika berbagai bencana kembali melanda Indonesia. Mulai banjir di Wasior dan Malang, gempa dan tsunami di Mentawi, Letusan gunung merapi di Yogyakarta yang sampai sekarang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Berbagai bencana ini telah banyak menimbulkan korban baik jiwa maupun harta benda.
Sepertinya Tuhan mendemontrasikan kepada umat manusia akan kemahakuasaan-Nya, yang mampu melakukan segala hal, yang tidak dapat dibendung oleh berbagai ilmu dan kekuatan apapun. Di sisi lain manusia selalu lupa untuk mengambil hikmah dari setiap bencana tersebut. Walaupun dari satu sisi dalam kaca mata agama bencana dapat dianggap sebagai ujian yang harus yang dilalui manusia sebagai proses penyempurnaan mental spiritual. Akan tetapi disisi lain sebagian bencana tersebut juga dapat dilihat sebagai respon alam terhadap apa yang telah dilakukan manusia diatas muka bumi ini. Bencana banjir misalnya yang banyak diakibatkan karena keserakahan manusia dalam mengelola alam.


Negeri ini dalam berbagai penelitian merupakan negeri rawan bencana. Letak geografis serta banyaknya gunung merapi menjadikan Indonesia seakan ditakdirkan hidup diatas cincin api. Dimana dalam kurung hitungan waktu bencana alam selalu menjadi ancaman di seluruh daerah di tanah air. Oleh karena itu seharusnya masyarakat memiliki persiapan berupa pengetahuan, kewaspadaan dan bahkan dibutuhkan keahlian dalam menghadapi bencana.
Bencana alam seperti gempa bumi, tsunami dan letusan merapi merupakan bencana alam yang tidak dapat di hindari dan cegah oleh manusia. Manusia hanya memiliki kepasrahan yang harus disertai kesiapan untuk menghadapinya. Rentetan peristiwa sebelumnya menjadi pelajaran tersendiri, begitupula pendapat beberapa ahli tentang daerah rawan bencana menjadi peringatan yang perlu diwaspadai.
Meminimalisir jatuhnya korban bencana harus menjadi pemikiran semua pihak. Pemerintah harus serius menjalankan Undang-Undang penanganan bencana, begitu pula masyarakat harus aktif untuk mendapatkan informasi tentang bencana yang berpotensi ada di daerahnya. Penggunaan teknologi informasi dimaksimalkan ada di daerah rawan serta persiapan dana tanggap darurat yang memadai. Seandainya hal tersebut dilakukan maka korban wasior, Mentawai, Yogyakarta serta bencana di daerah lain tidak sebanyak yang ada sekarang.
Harus diakui bahwa beberapa komponen tentang perencanaan penanganan bencana selama ini belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari ketidakpatutan sebahagian masyarakat terhadap peringatan bencana, gagapnya pemerintah dalam menangani bencana. Begitupula berbagai fasilitas teknologi peringatan bencana yang tidak ada, kalaupun ada tidak terawat dan bahkan sudah dicuri.
Namun dibalik itu semua, apresiasi perlu diberikan kepada para sukarelawan yang rela bekerja secara ikhlas menolong korban bencana di tanah air. Bahkan di beritakan di media beberapa sekurelawan didapatkan meninggal pada saat melakukan evakuasi korban gunung merapi. Sebuah tugas kemanusian yang benar-benar dilandasi kecintaan terhadap sesamanya. Sebuah penghargaan juga di berikan kepada seluruh ummat manusia yang telah membantu para korban dalam bentuk apapun demi meringankan duka saudara-saudaranya.
Menumbuhkan solidaritas
Idhul adha dan serangkaian ibadah haji atau ibadah kurban bukan hanya dimaknai sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah SWT tetapi lebih dari itu sebagai sarana untuk merekatkan solidaritas ummat manusia. Bukankah setiap ibadah yang di jalankan memiliki relevansi terhadap hubungan antar manusia. Oleh karena itu Idhul adha harus di oreantasikan pada nilai-nilai sosial.
Ibadah kurban menjadi momentum untuk meningkatkan kepedulian terhadap sesama. Sebagaimana di ketahui bahwa simbolisasi ritual ibadah haji/kurban adalah simbolisasi dari ujian berat yang dialami oleh Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya Ismail, hingga akhirnya Allah SWT menggantinya dengan seekor hewan sembelihan. Begitu pula pada zaman Nabi Adam, kurban dilaksanakan oleh kedua putranya yaitu Qabil dan Habil. Akhirnya, kurban Habil di terima Allah SWT, karena dia mengeluarkan sebagian hartanya yang bagus-bagus dan ikhlas. Sementara itu, Qabil mengeluarkan sebagian hartanya yang jelek-jelek dan terpaksa sehingga ditolak oleh Allah Swt.
Sedangkan di zaman Nabi Muhammad SAW, kurban merupakan implementasi sejarah nabi Adam dan nabi Ibrahim yang diabadikan dalam Alquran dan disyariatkan untuk dilaksanakan. Dimana kurban di zaman Nabi Muhammad SAW merupakan ibadah langsung kepada Allah SWT dan ibadah sosial, dengan cara mengorbankan sebagian harta lewat sembelihan hewan yang diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Oleh karena itu ibadah haji dan kurban harus dimaknai kembali sebagai keikhlasan untuk mengeluarkan harta benda demi solidaritas sosial. Apatahlagi dalam konteks bangsa yang dirundung bencana sekarang ini. Penderitaan para korban bencana menjadi penderitaan semua masyarakat yang lain. Bukankah ajaran islam mengajarkan bahwa kita semua bersaudara. Diibaratkan salah satu organ tubuh yang sakit maka seluruh tubuh akan merasakannya.
Penulis pernah berfikir, seandainya saja MUI (majelis ulama Indonesia) menfatwakan bahwa mengeluarkan harta yang nilainya sama dengan ongkos haji untuk korban bencana di tanah air sama fungsinya dan manfaatnya disisi Allah SWT dengan melaksanakan ibadah haji di Arab Saudi, yang juga di tengah masyarakat di tambahkan nama depannya dengan huruf (H). Atau menfatwakan bahwa menjadi sukarelawan dalam membantu korban bencana sama pahalanya dengan melakukan wukuf di Arafah. Jika hal tersebut terwujud maka saatnya pada idhul adha ini masyarakat Indonesia yang berhaji akan wukuf di lereng Merapi dalam artian membantu korban bencana. Mungkin hal tersebut lebih bermakna ketimbang fatwa pelarangan menonton film kiamat 2012. Hal ini hanyalah pemikiran yang masih membutuhkan kajian lebih lanjut dan mungkin sebagian orang menggap sesuatu yang aneh.
Lebih jauh dari itu berbagai bencana yang melanda negeri perlu direnungkan bersama Pertama, bencana harus membawa manusia lebih dekat dengan Tuhannya. Kedua bencana merupakan aktifitas bumi dalam mencapai keseimbangannya, sehingga mahluk mendiami diatasnya harus selalu waspada dan berfikir bagaimana menghadapinya. Ketiga, bencana merupakan ujian solidaritas sosial, dimana ujian ini harus dilalui dengan rasa kebersamaan senasib sepenaggungan.
Ujian yang dialami nabi Ibrahim untuk mengorbankan putranya Nabi Sulaiman dalam melaksanakan perintah Allah SWT kembali termanifestasi pada ummat sekarang dalam bentuk ujian tanggunjawab sosial khususnya solidaritas bagi para korban bencana. Dimana bukan hanya mengalami korban secara fisik tetapi juga secara psikis.
Alasan kesulitan ekonomi bukanlah halangan untuk berkurban atau menolong saudara-saudara kita yang terkena bencana. Kalau harta tidak mencukupi, maka perlu dengan tenaga, kalupun tidak dengan tenaga maka cukup dengan doa. Kesemuanya itu merupakan bentuk kepedulian terhadap sesama, Semoga Allah SWT meridhoi segala bentuk upaya kita dalam menolong para korban dalam bentuk apapun, Dan selamat menunaikan Idhul Adha, Mohon maaf lahir dan batin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar