Selasa, 27 Desember 2011

SEKOLAH TANPA PENDIDIKAN

Oleh : Akmal Nur

Sebuah fenomena unik yang terjadi di dunia pendidikan akhir-akhir ini. Walaupun kejadian ini bukanlah terjadi pada tahun sekarang ini, tetapi masih menjadi hal yang unik untuk dicermati. Lihat saja di salahsatu media beberapa hari yang lalu, diberitakan tentang kekerasan kembali terjadi di lingkungan pendidikan. Kekerasan yang diduga terjadi di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) merupakan contoh buruk yang kembali di pertontongkan oleh intitusi yang mencetak generasi terdidik.

Beberapa kasus yang sama pernah terjadi di IPDN serta beberapa kampus dan sekolah di negeri ini. Ketika mau diurut maka tulisan ini tidak mampu untuk memuatnya. Yang jelas kekerasan di dunia pendidikan sampai hari ini belum mampu untuk dihilangkan. Pertanyaannya kemudian adalah apa yang salah dengan dunia pendidikan dan benarkah sekolah di negeri ini telah kehilangan fungsi pendidikannya.

Untuk menjawab hal tersebut sepertinya pakar pendidikan poulo freire pernah mengungkapkan dalam bukunya bahwa realitas pendidikan formal masih jauh dari tujuan pendidikan itu sendiri yaitu menciptakan manusia seutuhnya. Kesadaran yang terbentuk dari pendidikan dewasa ini masih sebatas kesadaran naïf yaitu sebuah kesadaran yang tahu akan kebenaran sesuatu tapi tidak punya keinginan untuk mengungkapkan apalagi melaksanakannya. Justru karena mengetahui itu salah dan melanggar sehingga melaksanakannya.

Padahal seharusnya pendidikan harus mampu membentuk manusia yang berkesadaran kritis yaitu kesadaran yang tahu akan sebuah kebenaran sesuatu dan melaksanakan hal tersebut serta keberanian untuk mengambil sikap terhadap sebuah kesalahan dengan cara-cara yang benar pula.

Melihat realitas pendidikan di Indonesia maka ungkapan tersebut sangat konteks untuk di benarkan. Hal tersebut disebabkan karena sistem yang mencakup metodelogi pendidikan yang digunakan secara umum masih konvensional, baik itu proses belajar mengajar, evaluasi, maupun menejemen pendidikannya. Dalam proses belajar mengajar misalnya dapat dilihat dari posisi guru/pembimbing/senior yang masih ditempatkan sebagai satu – satunya sumber informasi pengetahuan, sehingga proses yang terjadi adalah terjadinya subordinary, siswa sebagai objek yang otaknya harus diisi dan guru sebagai subjek yang mengisi. Hal tersebut menimbulkan rasa superioritas pada seorang pendidik/pembimbing/senior sehingga memunculkan rasa menguasai dan pada akhirnya memicu terjadinya kekerasan.

Pada evaluasi dapat dilihat dari penentuan kelulusan siswa untuk jenjang tertentu masih menggunakan instrument pengukuran yang tidak memperhitungkan perkembangan mentalitas peserta didik. Pelaksanaan UN yang tidak adil dan merata dalam berbagai kajian psikologi dapat menimbulkan tekanan mental yang memicu adanya depresi. Hal tersebut juga dapat menimbulkan kekerasan.

Sedangkan pada menejemen yang digunakan dapat diamati dari masih adanya sentralisasi kebijakan dalam pendidikan serta menejemen yang tidak transparan dan akuntabelnya pengelolaan pendidikan di sekolah maupun kampus. Sehingga yang terjadi adalah lemahnya sistem pengawasan dalam hal ini dinas terkait dengan satuan pendidikan masing-masing. Kelemahan ini memunculkan sebuah celah untuk melakukan kekerasan yang telah mentradisi di lingkungan pendidikan tersebut.

Membangun kesadaran

Memang benar bahwa pendidikan belum mampu menyentuh kesadaran kritis dari peserta didiknya, sehingga problem dalam dunia pendidikan tidak pernah habis dan terselesaikan. Mungkin saatnya sekarang untuk membangun kesadaran kolektif. Yaitu kesadaran untuk mengembalikan fungsi pendidikan secara filosofis yaitu memanusiakan manusia.

Sudah saatnya juga Negara ini banyak belajar dari Negara – Negara maju yang telah lama meninggalkan konsep pendidikannya yang konvensional dan beralih pada konsep pendidikan yang kontekstual. Strategi belajar mengajar sudah seharusnya menggunakan konsep – konsep baru. Serta memperhatikan aspek softskill (motifasi, integritas, kejujuran, keberanian, interaksi sosial dan lain - lain) yang bukan semata – mata pada skill atau keterampilan fisik semata.

Sudah seharusnya pendidikan kita dapat membangun manusia yang terampil baik secara akademik serta mempunyai kesadaran individu maupun kesadaran sosial dalam membangun bangsa ini. Sudah bosan masyarakat di negeri ini dengan lulusan pendidikan yang hanya terampil melakukan korupsi setelah menjadi pejabat, dan menjadi pelaku kekerasan ditengah masayarakat ketika tidak mendapatkan jabatan. Hal ini terjadi salahsatunya karena pendidikan belum mampu membangun sebuah kesadaran pada peserta didik dengan konsep pendidikan yang lebih konprehensif.

Memang Beberapa sekolah formal di negeri ini masih menggunakan cara – cara konvensional dalam mendidik siswa – siswanya. Lihat saja cara pembibingan yang masih mengandung unsur kekerasan. Bagaimana mungkin dapat mengharapkan siswa yang mampu menyelesaikan masalah di lingkungannya secara dialogis sedangkan di sekolah mereka dibimbing dengan menggunakan gaya yang keras.

Begitupun mengharapkan siswa berkata jujur, padahal disekolah mereka di ajari bermain curang pada saat pelaksanaan ujian. Serta bagaimana mungkin mengharapkan siswa dapat menghargai pendapat orang lain ketika di sekolah mereka tidak pernah di perbolehkan memberikan masukan pada gurunya yang dianggap salah. Serta berbagai kontradiksi – kontradiksi harapan lainnya yang terjadi dalam dunia pendidikan hari ini.

Tidak juga dapat di kesampingkan bahwa sudah ada sekolah yang telah mengubah paradigmanya kearah yang lebih baik yang jauh dari kekerasan dan perlu mendapatkan apresiasi. Namun satu hal yang perlu diingat bahwawalaupun berbagai konsep belajar mengajar yang baru telah diterapkan di sekolah serta telah diadopsinya konsep – konsep pendidikan yang modern. Tetapi jika tidak disertai dengan sebuah kesedaran kolektif untuk mengubah citra pendidikan maka perubahan hanya sebatas pembungkusnya.

Berbagai usaha yang di lakukan oleh pihak yang terkait dalam memperbaharui pendidikan baik itu perubahan kurikulum dan sertifikasi tenaga pendidik juga perlu mendapat apresiasi lebih lanjut. Dan yang terpenting adalah bagaimana evaluasi program-program tersebut sehingga pelaksanaannya tidak terkesan formalitas saja.

Oleh karenanya dunia pendidikan sudah harus dievaluasi secara sistemik. Bukan hanya pada evaluasi hasil tetapi juga mencakup evaluasi proses. Sejauhmana peran pendidikan yang telah di berikan demi mempercepat kemajuan bangsa. Benarkah keberadaan sekolah dewasa ini menjadi kebutuhan masyarakat yang masih layak di pertahankan dan dapat mengantarkan pada pembentukan manusia seutuhnya ataukah pendidikan justru membawa manusia jauh dari nilai – nilai kemanusian itu sendiri. Semua pertanyaan tersebut dapat terjawab dan terselesaikan paling tidak dari adanya niat bersama untuk bertanggunjawab dalam memajukan pendidikan di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar