Selasa, 27 Desember 2011

NASIONALISASI BIAYA RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL

Oleh : Akmal Nur, S.Pd

Setiap tahun pada saat regenerasi peserta didik, sekolah selalu menjadi sorotan. Baik itu kualitas output yang dihasilkan tidak sesuai yang harapan maupun sistem operasional yang berjalan didalamnya. Salahsatu yang menjadi sorotan masyarakat sekarang ini adalah lahirnya sekolah Rintisan Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Sekolah ini terbentuk dari amanah UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN). Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 50,ayat 3 bahwa "Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional".
Jika melihat tujuan dari adanya SBI, maka bukanlah suatu hal yang perlu dipermasalahkan. Karena selain untuk memenuhi amanat UU juga bertujuan untuk menghasilkan generasi peserta didik yang berdaya saing global (Berkelas internasional). Akan tetapi dalam sistem operasionalnya justru melahirkan efek sosial ditengah mayarakat.
Efek tersebut adalah terjadinya kesenjangan sosial ditengah masyarakat untuk mendapatkan akses pendidikan, sehingga yang terlihat adalah diskriminasi pendidikan. Hal tersebut juga sangat bertentangan dengan Undang-Undang SPN sendiri untuk menyelenggarakan pendidikan secara merata. Oleh karena itu muncul sebuah masalah pada RSBI/SBI.
Sebagaimana di ketahui bahwa dengan adanya RSBI/SBI beberapa sekolah sudah memasang tarif yang dapat dikatakan mahal jika melihat kondisi perekonomian masyarakat. Hal ini menjadikan RSBI/SBI tidak dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk bersekolah pada label sekolah internasional maka para orangtua siswa akan mengeluarkan sumbangan dana pembangunan yang mencapai jutaan rupiah ditambah biaya SPP diatas lima ratus ribu rupiah setiap bulannya.
Sebagai gambaran, biaya sumbangan pengembangan institusi (SPI) yang dikenakan kepada siswa ketika masuk SMPN 5 Semarang misalnya sebesar Rp 1 juta-Rp 8 juta, sedangkan biaya sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) mencapai Rp 165.000 per bulan.(www.Kompas.com). Biaya pendaftaran Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, juga besarannya mencapai Rp5 juta untuk setiap siswa. (www.mediaIndonesia. com). Begitupula berbagai sekolah bertaraf internasional diseluruh penjuru tanah air semakin tahun semakin menanjak naik pembayarannya.
Memang keberadaan RSBI/SBI dinegara ini masih perlu dipertanyakan mengingat keseriusan pemerintah dalam melakukan subsidi pendidikan masih sedikit. Hal ini sangat ironis jika RSBI/SBI diadakan dan membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit. Jika hal tersebut dipaksakan maka kembali masyarakatlah sebagai orang tua siswa yang menjadi korban. Apatahlagi banyak siswa yang berprestasi yang memiliki kondisi ekonomi di bawah standar. Dapat dipastikan bahwa mereka tidak akan mampu membiayai pendidikan pada RSBI/SBI


Menasionalkan RSBI/SBI

Sepertinya dalam melihat persolan tersebut maka terdapat beberapa pilihan yang menjadi fokus yang semuanya memiliki dampak masing-masing. Pertama RSBI/SBI dihapuskan dengan mengamandemen UU SPN no 20 tahun 2003. Kedua melakukan pembatasan biaya RSBI/SBI di berbagai daerah melalui Peraturan Menteri (PERMEN) atau himbauan dinas terkait terhadap satuan pendidikan. Ketiga meningkatkan subsidi pendidikan khususnya sekolah yang memiliki label RSBI/SBI. Dan keempat melakukan pembatasan maksimal satu sekolah untuk tiap daerah di seluruh tanah air. Semua pilihan tersebut muncul karena dilatarbelakangi dari mahalnya biaya operasional yang tidak sebanding dengan sebahagian besar pendapatan masyarakat.
Dari beberapa pilihan tersebut penulis lebih cenderum pada pilihan ketiga dan kedua yaitu meningkatkan subsidi pendidikan baik itu sekolah yang umum maupun RSBI/SBI dengan tetap melakukan pembatasan terhadap pembiyaan yang dilakukan pihak sekolah. Dengan peningkatan subsidi pendidikan diharapkan semua lapisan masyarakat dapat menjangkau pendidikan khususnya RSBI/SBI dengan tetap mempertahankan eksistensi label sekolah tersebut. Oleh sebab itu evaluasi terhadap sekolah RSBI/SBI harus dilakukan secepatnya, masyarakat ingin mengetahui apa sebenarnya yang berubah pada sekolah tersebut, dan apa sebenarnya yang mahal. Apakah kuantitas bangunannya yang berubah dan ditambahkan berbagai aksesoris pendukung AC, LCD, TV dan lain-lain memiliki korelasi positif terhadap kualitas atau mutu output yang dihasilkan. Ataukah sampai sekarang tidak ada yang berubah, kalau demikian maka suara-suara masyarakat yang meminta RSBI/SBI di hapuskan juga menjadi perlu untuk didengar.
evaluasi tersebut dapat mencakup dua hal pertama secara internal diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap kualitas output yang dihasilkan dan kedua secara eksternal dapat mengetahui kemanpuan masyarakat dalam hal pembiyaan dalam mengakses sekolah RSBI/SBI secara adil dan tidak diskriminatif.
Dengan adanya evaluasi kedua hal tersebut maka nantinya didapatkan sebuah sekolah kualitas bertaraf internasional dengan pembiyaan yang sifatnya nasional. Semuanya itu dapat diraih dengan komitmen semua pihak yang terkait baik itu masyarakat yang patuh membayar pajak maupun pemerintah sebagai pelayan untuk menyalurkan hal tersebut dalam berbagai regulasi khususnya di bidang pendidikan.
Besar harapan keberadaan RSBI/SBI jangan sampai merupakan bentuk baru kapitalisasi pendidikan yang sangat ditakutkan masyarakat selama ini. Tetapi menjadi wajah baru pendidikan dalam menyongsong persaingan global.
Semoga juga dengan adanya evaluasi terhadap sekolah yang berlabel RSBI/SBI dapat merubah kembali citra kata “internasional” yang melekat pada sekolah dan selama ini dianggap mahal oleh masyarakat menjadi kata yang murah untuk dicapai oleh semua lapisan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar