Rabu, 10 Oktober 2012

RAPUHNYA GENERASI PENERUS BANGSA


Oleh : Akmal nur, S.Pd

            Belakangan ini remaja sebagai generasi penerus bangsa banyak menjadi perbincangan ditengah masyarakat. Bukan karena prestasinya atau kerja positifnya membangun bangsa, tetapi tingkah lakunya yang menimbulkan antipati masyarakat. Remaja yang menjadi bagian penting dari bangsa ini kini keberadaannya menjadi tidak terkontrol dan banyak meresahkan masyarakat.  Berbagai kasus kekerasan, amoral, penyalahgunaan obat terlarang, sampai pada hilangnya rasa kemanusian mereka membuat bangsa ini harus mencermati, berfikir dan melakukan tindakan untuk memutus mata rantai peristiwa ini agar tidak terjadi terus menerus.
            Penyakit sosial remaja sekarang ini harus menjadi perhatian. Tidak dapat disangkal bahwa seratus persen keberlangsungan bangsa ini ditentukan oleh karakter remaja saat ini. Remaja yang memiliki karakter yang kuat akan melahirkan kedepan bangsa yang kuat dan berkarakter. Sebaliknya generasi yang rapuh hanya akan melahirkan bangsa yang rapuh pula, bahkan akan mengalami kepunahan. Kalaupun tidak punah maka bangsanya akan menjadi wilayah jajahan bangsa lain. Sudah terlalu banyak buahpikiran dari pengamat dan peneliti yang membenarkan argument ini.
            Masalah remaja memang merupakan masalah klasik, yang timbul dan tenggelam di tengah banyaknya persoalan  bangsa. Munculnya masalah tawuran, kekerasan, penyalahgunaan obat-obatan dan penyakit sosial lainnya pada remaja bukan hanya terjadi saat ini dan ditimbulkan dari satu sebab, tetapi dipengaruhi oleh banyak faktor atau kondisi yang ada. Tetapi dengan mengurangi sebab dari masalah tersebut palingtidak juga mengurangi akibat- akibat yang ditimbulkan. Dan hal yang terpenting adalah bagaimana membentengi dan membekali remaja agar terhindar dari penyakit-penyakit sosial tersebut.
Depresi, ingin terkenal, kurang apresiasi, kurang perhatian, kurang manusiawi, hedonisme pergaulan bebas, globalisasi dan sebagainya merupakan daftar kata sederhana yang sering digunakan untuk menjustifikasi penyimpangan tingkahlaku remaja. Sudah terlalu sering kata – kata seperti itu muncul bukan hanya pada saat kejadian tetapi ada disetiap lembaran buku-buku, ada disetiap skenario film, ada di setiap seminar-seminar tetapi mungkin tidak ada pada perhatian kepala keluarga, anggota keluarga, pendidik, masyarakat serta pemimpin negeri ini.
            Mencari siapa yang salah dari peristiwa tersebut bukanlah hal urgen untuk dibicarakan. Tetapi yang terbaik adalah mencari solusi dari masalah tersebut. Tidak terlalu penting memberikan kutukan pada setiap peristiwa tersebut, apalagi menyalahkan sepenuhnya pada pelaku. Karena jika dilihat lebih jauh semua komponen ikut andil dan bertanggungjawab terhadap peristiwa itu. Baik lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan maupun lingkungan masyarakatnya.
            Banyaknya asumsi masyarakat yang menyudutkan sekolah sebagai sebuah instansi yang paling bertanggungjawab terhadap peristiwa tersebut haruslah diterima dengan kepala dingin oleh para pelaku pendidikan walaupun tidak sepenuhnya benar. Mengingat bahwa sekolah selama menjadi salahsatu titik tumpu membentuk karakter anak bangsa. Munculnya kontradiksi antara harapan masyarakat dengan kenyataan yang ada memunculkan asumsi tersebut. Apatahlagi beberapa peristiwa muncul dari kelompok – kelompok remaja yang berada dalam sistem sekolah. Oleh karenanya sekolah sebagai tempat remaja membentuk karakter tidak perlu menanggapi terlalu serius, sebab yang terpenting adalah mengambil peran sosial masing-masing dan berfikir untuk mencegah kejadian terulang kembali.

SUDUT PANDANG PENDIDIKAN
            Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa bukan hanya satu faktor yang berpengaruh terhadap munculnya efek-efek kenakalan remaja tetapi pada sesi ini penulis lebih banyak melihat sudut pandang pendidikan formal.
            Usia remaja merupakan usia rentang prilaku-prilaku abnormal. Pada masa-masa ini merupakan peralihan dari masa kanak-kanak menjadi dewasa yang menampilkan banyak gejolak emosi. Pencarian jati diri dan ekspresi jiwa yang berlebihan harus menjadi perhatian agar tersalurkan pada hal-hal yang positif. Keberadaan institusi pendidikan seperti sekolah harus menjadi media dalam mengelola emosi tersebut dengan baik.
            Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam lingkungan pendidikan formal. Pertama, paradigma sistem pendidikan yang lebih mementingkan kognitif ketimbang sikap dan moral peserta didik harus ditinggalkan. Pemebentukan karakter disekolah juga tidak akan terjadi selama proses disekolah hanya sampai pada proses pembelajaran tampah menyentuh wilayah pendidikan. Pendidikan karakter yang selama ini diwacanakan hanya sebatas teori jika paradigma pengambil kebijakan dan palaku pendidikan tidak berubah.
            Kedua, sekolah harus banyak menyiapkan tempat pada peserta didik sebagai pilihan-pilihan dalam mengelola mental dan fisiknya. Selain untuk menyibukkan peserta didik pada kegiatan positif juga untuk menyediakan miniatur sosial dalam berinteraksi serta menyelesaikan persoalan-persoalan dengan cara yang baik. Kurangnya tempat untuk berekspresi di lingkungan sekolah hanya melahirkan kelompok-kelompok siswa yang tidak terkontrol dan rentang melakukan kegiatan negatif.
            Ketiga, mengkondisikan sebuah sistem sekolah yang dapat membentuk dan membina karakter peseta didik. Sistem sekolah yang meliputi pengelolaan sekolah yang baik, pembelajaran, keteladanan para pendidik, penegakan perangkat-perangkat aturan sekolah dengan tegas, serta budaya-budaya kesopanan diterapkan dilingkungan sekolah. Pembentukan karakter tidak akan tercipta dengan mengajarkan karakter pada peserta didik, tetapi terbentuk dari rekayasa atau pengkondisian sebuah sistem sekolah yang memberikan ruang terbentuknya karakter tersebut.
            Keempat. Guru sebagai ujung tombak pendidikan selain memberikan teladan juga harus mengetahui ciri umum dan perkembangan remaja/peserta didiknya. Pengetahuan guru terhadap seorang remaja dapat memberikan perlakuan baik itu pembelajaran, pembibingan, pembinaan sesuai dengan tahap usia remaja tersebut. Kecendrungan dan potensi setiap remaja sangat berbeda-beda sehingga dibutuhkan peran guru untuk melihat, memilah dan mengembangkan setiap potensi-potensi tersebut.
            Masih banyak lagi hal-hal lain yang perlu diperankan institusi pendidikan dalam membentuk mental dan karakter remaja. Optimisme tetap harus terjaga, bangsa ini masih punyah harapan untuk maju selama kepercayaan terhadap generasi penerus bangsa di iringi dengan perhatian semua pihak. Bukan hanya lingkungan pendidikan, tetapi juga lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat serta kebijakan-kebijakan para pemimpin bangsa ini berpihak pada pembentukan karakter bangsa.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar