Kamis, 22 Maret 2012

MASIHKAH RSBI DI BUTUHKAN

Oleh : Akmal nur S.Pd*

Salahsatu isu pendidikan yang sekarang menjadi perdebatan dikalangan elite pemangku kebijakan pendidikan dan para pengamat serta pemerhati pendidikan adalah eksistensi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Isu ini mungkin tidak terlalu ‘seksi’ untuk di bicarakan di dunia media karena kalah bersaing dengan isu-isu besar lainnya seperti kenaikan BBM, korupsi, rekening gendut PNS, dan mungkin isu kekalahan timnas sepakbola 10-1 dari Bahrain. Walaupun seperti itu harusnya isu seperti ini tetap perlu menjadi perhatian publik karena efeknya sangat langsung dirasakan masyarakat Indonesia seperti halnya kenaikan BBM.
Kontroversi RSBI/SBI terus bergulir setelah Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan menggugat penyelenggaraan RSBI ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan mengajukan uji materi Pasal 50 ayat 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Beberapa hari yang lalu sidang lanjutan kembali di gelar di MK.

Alasan diajukan sidang judicial review Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, di MK tersebut Menurut koalisi ini, penyelenggaraan RSBI tersebut telah melanggar hak konstitusi sebagian warga negara dalam pemenuhan hak dan kewajiban mengikuti pendidikan dasar. Hal itu karena mahalnya biaya di sekolah RSBI sangat membatasi hak warga negara, khususnya anak-anak yang berasal dari golongan keluarga miskin, untuk bisa menikmati pendidikan di sekolah tersebut.
Jika melihat alasan pemerintah mengapa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mengatur pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan minimal satu satuan pendidikan pada semua jenjang untuk dikembangkan menjadi RSBI tidaklah salah. Sebagaimana Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Suyanto mengungkapkan dalam majelis MK bahwa RSBI bertujuan menghasilkan lulusan yang melampaui standar nasional pendidikan. Menurutnya, hal itu dimaksudkan agar lulusan RSBI memiliki daya saing tinggi, termasuk kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing. (Kompas.com).
Akan tetapi dalam mencapai itu semua diperlukan dana yang tidak sedikit sehingga beberapa sekolah RSBI membebankan sebahagian pembiayaan tersebut kepada siswa. Hal inilah yang menimbulkan efek memberatkan orangtua siswa mengingat sebahagian besar masyarakat masih memiliki kondisi ekonomi rendah. Dengan pola pikir bahwa RSBI bukanlah barang yang murah seakan-akan merupakan justifikasi pungutan pihak sekolah yang tidak sedikit jumlahnya.
Keberadaan RSBI sejak diprogram pada tahun 2006 memang banyak menuai kritik dari berbagai pengamat, pemerhati dan praktisi pendidikan sendiri. Dari segi acuan pemerintah misalnya yang melirik OECD forum 34 Negara-negara kaya yang di Eropa, Amerika dan jepang yang sungguh jauh berbeda kondisinya dengan Indonesia yang penduduknya masih banyak berada dibawah garis kemiskinan. Selain itu Negara tercinta ini belum bisa mengalokasikan anggaran untuk kebutuhan RSBI/SBI karena APBN masih digerogoti utang luar negeri. Jangankan untuk pembiyaan sekolah RSBI, untuk anggaran mendesak saja seperti subsidi BBM dan pupuk belum bisa diatasi sampai sekarang apalagi mengharap pada APBD yang hanya cukup untuk ongkos PILKADA.
Selain masalah pembiyaan, dibeberapa sekolah RSBI juga dalam pelaksanaan telah menimbulkan ketidakpuasan bagi siswa dan orang tua siswa yang merasa dana yang dikeluarkan tidak sebanding dengan fasilitas yang diperoleh selama berada di sekolah tersebut.
Subsidi yang di berikan pemerintah kepada sekitar 1.172 RSBI sendiri, dalam kurun waktu 2006-2010, disebut mencapai Rp 11,2 triliun. Namun, berdasarkan pemantauan ICW, dana-dana subsidi yang diberikan oleh pemerintah melalui Kemdikbud tersebut rawan dikorupsi, karena pengelolaan keuangannya tidak transparan. (kompas .com)
Perlukah RSBI/SBI
Setelah kurung waktu dari 2006 sampai sekarang RSBI belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan khususnya dalam peningkatan mutu. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilansir Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak jauh berbeda antara sekolah RSBI dan sekolah reguler dari segi mutu. Hal ini berarti bahwa ada sesuatu yang tidak jalan dalam program tersebut. Jika dimikian kenyataannya, maka apa yang perlu dibanggakan dari label internasional.
Semua masyarakat Indonesia mungkin sepakat bahwa mutu pendidikan harus sejajar dengan Negara-negara maju lainnya, bahkan kalau perlu sekolah ini harus berlabel SMBI (Sekolah Melampaui Standar Internasional). Akan tetapi dalam pelaksanaannya perlu mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat termasuk kemampuan Negara dalam membiayai kebutuhan sekolah tersebut. Agar tidak tercipta kastanisasi di dunia pendidikan seperti dalam gugatan masyarakat yang tergabung dalam koalisi masyarakat anti komersialisasi pendidikan.
Pemberian kuota 20% untuk masyarakat kurang mampu belumlah menjadi solusi selama ini dalam menghilangkan kesan komersialisasi pendidikan terkait eksistensi RSBI. Selain belum banyak sekolah RSBI yang menjalankannya juga karena kebijakan tersebut tetap saja tidak memberi rasa keadilan masyarakat yang setengah penduduknya berada di bawa garis kemiskinan.
Jika boleh memprediksi maka putusan MK hanya memiliki palingtidak tiga alternatif. Pertama tetap mempertahankan keberadaan RSBI dengan menolak gugatan pihak penggugat, kedua mempertahankan keberadaan RSBI dengan beberapa syarat, dan ketiga menghapus Pasal 50 ayat 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas dengan kata lain menghilangkan eksistensi RSBI.
Pilihan pertama akan sulit bagi MK jika melihat fakta-fakta yang ada, kemungkinannya ada pada pilihan kedua dan ketiga. Jika pilihan kedua maka kasusnya akan bernasib sama dengan UN yang sampai sekarang tetap juga dilaksanakan walaupun syaratnya belum terpenuhi. Dan pilihan ketiga adalah pilihan yang ditunggu masyarakat khususnya masyarakat yang selama ini merasa tidak dapat mengakses sekolah RSBI.
Beberapa catatan sebelumnya penulis pernah berfikir bahwa RSBI tetap perlu di pertahankan keberadaannya dengan syarat pembiayaan harus ditanggung pemerintah, Akan tetapi melihat kegalauan pemerintah dalam memandang APBN dan sebentar lagi akan menaikkan BBM maka sudah saatnya penulis memberikan saran bahwa RSBI/SBI hapuskan saja dulu, mari berfokus memberpaiki sekolah yang rusak, membenahi kualitas guru dan memperketat pengawasan bantuan dan subsidi untuk pendidikan.
* Diterbitkan di Harian Palu Ekspres

Tidak ada komentar:

Posting Komentar